Saat menyusun tim untuk suatu proyek yang cukup besar, yang terkait dengan beberapa
distribution center dan ribuan sebaran toko ritel di seluruh Indonesia, biasanya kita semua akan
vis-a-vis dengan beberapa pilihan.
Jikalau ketersediaan sumberdaya menjadi hal yang
in-evitable (tak terelakkan) maka demi kebutuhan penyusun anggota
team work dibutuhkan tiga langkah strategik. Yaitu: (1) memilih pemain bintang untuk seluruh
member dari
team work, yang artinya terdiri atas orang-orang terbaik yang ada di perusahaan kita; (2) seluruh anggota merupakan staf dengan prestasi biasa-biasa saja (
mediocre); (3) pihan anggota tim yang terdiri dari campuran, baik staf dengan performa terbaik juga yang biasa-biasa.
Nah, jika proyek yang akan dikerjakan merupakan sebuah proyek yang besar, biasanya manajemen sama sekali tidak tertarik dengan opsi pertama dengan menggunakan seluruh pemain bintang dengan pertimbangan agar tampak performa apling baik. Namun, pengalaman mengajarkan bahwa dilapangan, sepanjang proyek berlangsung, kelak akan saling berbenturan antara ego dari masing-masing anggota yang merasa sang paling baik diantara yang baik. Setiap pihak merasa pihak lainnya menghambat tugasnya. Dan setiap orang juga merasa pendapatnya yang paling benar.
Sehingga implementor akan berbenturan dengan developer, dan trainer akan berdebat dengan deployer. Akhirnya, proyek yang saya kira akan selesai lebih cepat akhirnya malah mulur karena sibuk meredakan konflik internal tim.
Setelah ada pergantian personal dan pengurangan tugas dari sebagian anggota, proyek akhirnya dapat diselesaikan, meskipun lebih dari jadwal yang ditentukan dan dengan beberapa pemakluman dari pemilik proyek. Maka, oleh karena pengalaman ini, banyak pihak manajemen menghindari pilihan ini. Opsi ketiga dimana berisi tim campuran biasanya menjadi sebuah pilihan yang lebih baik serta lebih bijaksana. Karena pihak manajemen akan memberikan imbalan penghargaan berbasis
merit based, dimana yang berprestasi baik dapat memotivasi staf yang memiliki prestasi pas-pasan dan menambah imbalan penghargaan dan
income mereka.
Pengalaman Empirik KamiBeberapa kekeliruan sering terjadi didalam sebuah keputusan strategik sebuah manajemen. Semisal pada bagian
development yang merupakan departemen yang paling berat tugasnya saya tempatkan dua
developer terbaik yang saya miliki. Sedangkan untuk
deployer, disediakan dua staf
technical support yang pernah mendapatkan
complain oleh atasan karena kurang cepat bereaksi terhadap penugasannya.
Ketika manajemen berharap mereka akan termotivasi dengan irama kerja dua
developer tadi, dalam kenyataannyaibarat kita mencampur air panas dan dingin dan mendapatkan air dengan temperatur hangat.Performa tim ternyata tidak signifikan/tidak terlalu istimewa. Karena kedua
developer ternyata terbawa arus justru mengikuti irama kerja
deployer. Seakan-akan mereka menunggu kedua
deployer, baru mengerjakan tahap tugas berikutnya. Peringatan keras daria rah tengah
the war room untuk memberi motivasi lebih, termasuk juga dengan menambah seorang
trainer menjadi
sebuah intervensi yang cukup baik bagi keputusan strategik yang tengah dilaksanakan. Proyek memang pada akhirnya dapat diselesaikan tepat waktu namun signifikansi kualitas yang diharapakan menjadikan
output dalam kondisi pas-pasan.
A Strong Leadership dan a Solid Team WorkManajemen memilih delapan orang anggota tim dengan kemampuan
mediocre. Seorang orang
Senior developer saya sertakan utnuk menjadi penjaga gawang bilamana terjadi sesuatu hal yang tidak diharapkan. Sebagai pimpinan manajemen, dengan seorang wakil, tiga
developer, dua t
rainer dan dua
deployer. Anggota dari tim
sales dipilih manajemen sebagai wakil dengan pertimabangan bahwa yang bersangkutan memiliki kemampuan lebih dalam hal berkomunikasi. Hal tersebut menjadi pertimbangan jikalau kelak terdapat pihak klien yang memprotes jika terjadi kelambanan dalam pelaksanaan proyek. Dengan kendali yang cukup dapat dilaksanakan dengan 'sistem komando satu pintu' pimipnan puncak manajemen memegang hampir sepeuhnya kendali didalam tangannya. Sehingga kondisi menjadi 'aman' dan terkendali Sampai kemudian terjadi hal yang juga dibutuhkan sebuah tindakan cepat dan strategis ketika ditengah perjalanan, seorang
developer senior mengundurkan diri. Setelah diusut beberapa dugaan kemudian muncul kepermukaan semisal: (1) yang bersangkutan merasa masuk dalam tim yang ‘tidak populer’; (2) yang bersangkuta merasa jenuh dengan kondisi
mediocre ditempat kerja karenanya mengundurkan diri. Ketik para anggota tim lainnya merasa sama sekali tidak terusik dengan kepergian sang senior tersebut, manajemen puncak lalu mencurahkan perhatian penuh pada proyek dimana sehari-hari selalu berada dalam jangkauan pengamatan optimal.
Dengan sedikit 'tekanan' para anggota tim yang tadinya dinayatakan sebagai berforma lamban, ternyata mampu menunjukkan kemampuan yang baik selang beberapa saat menghasilkan output yang cukup memuaskan. Yang sejujurnya menghasilkan karya (
the craft) yang tidak kalah dengan tim bintang.
Kesimpulannya adalah, bahwa dalam satu tim tidak harus selalunya berisikan semua anggota terbaik. Jika selama ini seringkali dalam organisasi yang berbasis proyek dimana masing-masing pimpinan berusaha menarik staf terbaik dengan harapan mampu memberikan kontribusi terhadap kinerja tim. Maka sebetulnya semuanya kembali kepada style of leadership, diaman sang pimpinan proyek mengatur iramakerja dan kerjasama tim yang baik. Dengan harapan agarmampu mengarahkan tim ketika krisis atau konflik menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan. Intinya adalah
a strong leadership dan
a solid team work!