Ikang Fawzi & Inspirasi the Ciputra Way

Ikang Fawzi & Inspirasi the Ciputra Way
The Ciputra Way yang Sangat Inspiratif: Ikang Fawzi & Marissa Haque

Ikang Fawzi (Ahmad Zulfikar Fawzi)

Ikang Fawzi (Ahmad Zulfikar Fawzi)
PAN di Kalianda, Lampung Selatan

Pelantikan Ikang Fawzi Menjadi Duta LIPI & Kebun Raya Indonesia

Pelantikan Ikang Fawzi Menjadi Duta LIPI & Kebun Raya Indonesia
Inspirasi Pak Ciputra untuk Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, Ikang Fawzi & Marissa Haque

Mendampingi Menteri Perumahan Rakyat ke Istana Negara

Mendampingi Menteri Perumahan Rakyat ke Istana Negara
Menyalami Presiden SBY, Ikang Fawzi (REI) & Menpera

Selasa, 27 April 2010

"Green Campaign" pada Bisnis Properti: Dr. Hargo Utomo dalam Ikang Fawzi

Ketika isu tentang pemanasan global atau global warming mulai mengemuka lebih dari dua dekade yang lalu, sebagian besar para pengembang (developer) atau para pelaku bisnis properti di Indonesia tidak begitu mempedulikannya. Ragam aktifitas yang dilakukan oleh para penggerak dan pecinta lingkungan alami dipersepsikan tidak lebih hanya sekedar gerakan sporadik yang bertujuan mengangkat popularitas individu atau sekelompok massa. Orientasi para pengembang sendiri sepertinya lebih tertarik pada upaya memaksimalkan lahan untuk tujuan komersial dengan sedikit melakukan kompromi terhadap peruntukan lahan. Longgarnya proses konversi kepemilikan lahan pertanian dan beralihnya fungsi lahan pertanian menjadi lahan perumahan dan industri memang telah menjadi daya tarik bisnis yang luar biasa sehingga melahirkan ribuan pengembang dengan pola instan yang tersebar di berbagai daerah dan kota di Indonesia

Gambaran ketidakpedulian industri properti terhadap lingkungan nampaknya kini sedikit mulai berubah. Paling tidak, perjalanan waktu selama seperempat abad sepertinya mulai menemukan alur dan babakan baru yang meyadarkan para pengembang tentang perlunya mengadopsi konsep pembangunan yang keberlanjutan. Terlepas gelombang “go green” yang umumnya masih bersifat artificial atau tempelan dan diperlakukan sebagai iming-iming untuk tujuan pemasaran produk-produk properti, namun kini ada sejumlah pengembang di Jakarta yang mulai memasukkan unsur ramah lingkungan untuk memenuhi permintaan terhadap gedung-gedung dengan rancang bangun yang ramah lingkungan (green building and green architecture). Konsep ini diadopsi dengan mengedepankan unsur penghematan energi khususnya listrik dan mengoptimalkan pemanfaatan air, udara, serta efek pencahayaan dalam bangunan. Penggunaan bahan material yang dapat didaur-ulang dalam proses desain, konstruksi, dan operasional bangunan selanjutnya menjadi pilihan selain untuk tujuan efisiensi tetapi juga untuk peningkatan kualitas hidup bagi para penghuninya.

Hanya saja, difusi atau penyebaran konsep pembangunan fisik yang berwawasan lingkungan di kalangan para pengembang bukanlah proses yang singkat dan mudah karena orientasi mereka pada umumnya adalah pengembalian investasi dalam jangka waktu pendek. Para pengembang selalu berargumen dan mengemukakan alasan klasik bahwa penerapan konsep ramah lingkungan akan menaikkan biaya produksi karena adanya tambahan biaya yang dikeluarkan untuk penyediaan ruang-ruang terbuka hijau yang lebih luas yang semestinya bisa dikomersialkan. Perubahan pola pikir memang diperlukan untuk meyakinkan para pengembang bahwa model bisnis yang mengedepankan sistem kehidupan manusia akan memberi nilai lebih bagi masyarakat dalam jangka panjang. Masalahnya, masyarakat di negeri ini memang belum memiliki ukuran yang baku tentang kualitas properti yang memenuhi standar lingkungan. Kondisi seperti ini yang memberi ruang gerak bagi para pengembang untuk tetap berimprovisasi terutama dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap residential property.

Perlunya Standar tentang Green Building
Adanya standardiasasi gedung atau bangunan yang berwawasan lingkungan sudah semakin dirasakan perlunya di negeri ini. Standar baku untuk green building yang sudah diterapkan di Amerika Serikat dan kini banyak diadopsi di negara lain, antara lain China, India, Arab Saudi, dan Vietnam adalah LEED® (Leadership in Energy and Environmental Design). Standar baku yang sejenis dapat juga dijumpai dan sudah diterapkan di negara maju lain, misalnya di Canada dengan sebutan LEED™; NABERS di Australia, dan BREEAM di United Kingdom. Pertanyaan lebih lanjut adalah, apa makna standardisasi bagi para pengembang dan masyarakat pada umumnya di Indonesia? Sudah jelas, bagi para pengembang, adanya standar baku tentang green building secara nasional akan membantu mereka dalam memenuhi ketentuan dalam rancangan dasar untuk konstruksi bangunan. Standardisasi juga akan membantu pengambil kebijakan publik dalam menentukan klasifikasi pengembang. Sementara itu bagi masyarakat secara umum, adanya standar baku yang dimaksud tentu akan membantu konsumen dalam mendapatkan hak-hak atas nilai investasi di properti yang dilakukan sekaligus peningkatan kualitas kehidupannya dalam jangka panjang.

Walaupun toh di Indonesia belum ada standar tentang green building, bukan berarti para pengambil kebijakan dan para pengembang langsung bisa mengadopsi standar baku yang sudah diterapkan di negara lain. Pilihan yang bijak dalam penentuan standar green building tentunya dilakukan dengan mempertimbangkan faktor keselarasan antara capaian yang diharapkan dengan keunikan konteks geografis yang ada di Indonesia. Karakteristik alami yang yang ada di negeri kepulauan ini sudah barang tentu membutuhkan pencermatan tersendiri dalam menentukan standar kewajaran yang diharapkan dapat memenuhi harapan semua pihak. Tulisan Nelms, E.C et al , “Assessing the performance of sustainable technologies: a framework and its application”, Building Research & Information, Vol.35, No.3, 2007, mengungkapkan perlunya para pengambil kebijakan memperhatikan tiga pilar penting dalam perumusan green building: ukuran kinerja yang diharapkan (performance measures); sistem bangunan atau komponen yang dikembangkan (building systems or components); dan siklus kehidupan suatu proyek properti (project life cycle).

Esensi dasar dari rerangka teoritik yang ditawarkan adalah bahwa sistem dan komponen atau bangunan yang dikembangkan bukanlah suatu entitas yang terpisah dari sistem lain yang ada dalam gedung atau bangunan secara keseluruhan. Oleh karena itu, rerangka pengembangan yang bakal dipilih sudah seharusnya mengakomodasi harapan dari ragam project stakeholders. Selain itu, pencermatan terhadap besaran biaya konstruksi, pengoperasian, dan pemeliharaan selama siklus kehidupan proyek juga merupakan hal yang tidak kalah pentingnya terutama untuk tujuan pengendalian risiko dan ketidakpastian dalam manajemen konstruksi. Itu sebabnya, penerapan terhadap prinsip yang dimaksud memerlukan komitmen semua pihak yang berkepentingan dengan bisnis properti.
Langkah ke Depan
Disadari atau pun tidak, model bisnis yang selama ini berkembang dalam industri properti mengacu pada konsep penjualan, yaitu menjual sesuatu yang bisa dibuat. Konsep semacam ini jauh dari harapan masyarakat yang sebenarnya kini sudah mulai memikirkan opsi untuk kehidupannya dalam jangka panjang. Itu sebabnya, kini sudah saatnya para pengembang mengadopsi konsep yang mengarah pada kemampuan untuk membuat sesuatu yang bisa dijual dan memenuhi harapan masyarakat dalam jangka panjang. Itu artinya, ragam kemungkinan bakal ditempuh untuk memunculkan langkah konkrit tentang bagaimana menciptakan nilai lebih bagi pelanggan, masyarakat, dan lingkungan secara terintegratif.

Pergeseran orientasi semacam ini sudah barang tentu memerlukan revolusi mental yang tidak mudah untuk dilakukan secara instan oleh para pengembang (lihat: Senge, P., et al, The Necessary Revolution: How individuals and Organizations are Working together to Create a Sustainable World”, Doubleday, New York, 2008). Kesulitan terbesar adalah mengubah mentalitas dan model bisnis yang selama ini sifatnya transaksional antara produsen dan pembeli untuk kemudian menjadikan hubungan keduanya bersifat kolaboratif untuk tujuan keberlanjutan bersama. Komitmen bersama terhadap pembangunan yang berkelanjutan sangat diperlukan untuk menjamin langkah konstruktif yang dimaksud dapat dicapai. Kalau agenda seperti itu ada, maka dambaan masyarakat serta anak cucu di negeri ini untuk bisa menikmati kembali sejuknya udara di kota-kota misalnya Bogor, Bandung, Yogyakarta, Magelang, atau Malang bisa direngkuh kembali. Semoga saja.

*) Dr. Hargo Utomo, MBA., M.Com adalah Direktur Magister Manajemen, Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (MMUGM).